Jumat, 23 Oktober 2009

MENUMPAS BUDAYA NGOHO (Penebangan Liar)


SEBELUM tahun 2000, bila lewat daerah Ncai Kapenta, pengendara tidak bisa melihat tanjakan dan jalan berliku dari kejauhan karena pandangan terhalang dahan pohon kayu rindang dedaunan seolah memayungi jalan raya. Sekarang dalam jarak ratusan meter tampak jelas jurang dan jalan berkelok

Ngoho atau berladang berpindah di Pulau Sumbawa (Kabupaten Sumbawa, Dompu, dan Bima) dilakukan saat pergantian musim kemarau dan musim hujan tiap tahun. Penduduk yang karena terbatasnya lahan garapan pribadi (rata-rata 0,30 ha per kepala keluarga) dan sumber penghasilan, lalu masuk hutan merambah kayu seraya menggarap lahan. Biar gampang dan irit tenaga, mereka membakar semak belukar bahkan dilakukan secara terang-terangan di areal yang berdekatan dengan jalan raya dalam jangkauan pantauan petugas.
Asap pembakaran yang membubung tinggi ke angkasa selain menjadi pemandangan rutin bagi pengguna jalan raya di siang hari, atau bara api yang merambat bagai aliran lahar gunung meletus bila dilihat dari kejauhan di malam hari, ibarat cerita bersambung di pulau itu. Bentuk bentang alam daerah Bima juga menjadi alasan aktivitas ngoho.
Oleh para peladang, lahan bertadah hujan itu ditanami padi gogo dan palawija (kacang hijau, kedelai). Mereka terkadang menginap secara bergiliran, dan membuat pondokan agar bisa mengawasi tanaman dari serangan babi, kera, dan lainnya. Karena tinggal relatif lama, mereka biasanya meminjam uang untuk membeli bahan makanan atau bekal menginap. Uang itu mereka ganti seusai panen.
Lahan itu hanya diolah dua-tiga tahun, itulah masa paling lama unsur hara mampu menyuburkan tanah. Mereka kemudian mencari lahan lain: tebang kayu hutan lagi, bakar semak belukar lagi. Tetapi, secara ekonomis hasil panen dinilai impas malah tidak sebanding dengan biaya pengerjaan lahan, untuk membayar utang, dan tenaga yang terkuras. Sementara itu, aktivitas perladangan telah menjadikan permukaan tanah kian menipis, menyisakan batu cadas karena terus dihantam air di musim hujan.
Kebiasaan para peladang berpindah lokasi bercocok tanam itu hanya mencari gampangnya. Sebenarnya, nenek moyang masyarakat Bima mengajarkan kearifan mengeksplorasi alam tanpa meninggalkan aspek konservasi.
Misalnya tradisi ndeca weharima atau gotong-royong membajak dan menanami sawah dan ladang secara bergiliran antarpemilik. Kemudian tradisi kuta nae atau membuat pagar pembatas desa, yang berupa batu bersusun (wadu udu) sebagai tanda daerah teritorial desa.
Pola bertani ladang berpindah memang dikenal di sana, namun untuk itu diberlakukan aturan ketat dan jelas bagi pelanggarnya. Kawasan wuba ntua (hutan lindung) adalah wilayah yang tidak bisa diganggu-gugat karena sebagai sumber air. Lokasi itu berjarak puluhan kilometer dari lahan garapan. Masa pengelolaan lahan di luar wuba ntua selama tiga tahun kemudian pindah ke lokasi lain.
Kepindahan itu diikuti penanaman buah-buahan dan tanaman konservasi. Enam tahun kemudian mereka kembali menggarap lahan lama, sedangkan tanaman sebelumnya sudah membesar dan berproduksi. Sekarang, hutan dibabat habis, ditinggal, babat lagi. Makanya, jangan heran kalau lihat dari ujung barat ke ujung timur Pulau Sumbawa tidak ada hutan. Yang ada tanaman liar, semak belukar yang meranggas dibakar matahari, panasnya bukan main. Bisa-bisa pulau ini nanti tenggelam, penduduknya bakal berumah di atas batu.
Salah satu upaya Pemerintah, masyarakat ditugasi juga melakukan pemantauan, selain melakukan bakti sosial menghijaukan kawasan dengan tanaman mangga, nangka maupun tanaman konservasi, yang bibitnya tanaman disediakan Pemerintah. Pihak TNI pun diserahi kawasan yang parah untuk dipulihkan dan dihijaukan.
Agaknya, menekan aktivitas perladangan berpindah harus menjadi gerakan massal, penegakan hukum kepada siapa pun, tanpa pandang bulu

0 komentar:

Posting Komentar